Untuk masuk dalam Kerajaan Surga Yesus memberikan dua syarat. Pertama, bertobatlah. Kedua, menjadi seperti anak kecil (Mat 18:3). Syarat pertama, memang bisa mudah dipahami, sebab dalam Injil sendiri sering dikatakan bahwa jika ingin selamat, maka kita hendaknya bertobat (Mt 12:41, Mrk 6:12...). Tapi syarat kedua agak ganjil, mengapa harus menjadi seperti anak kecil? Matius mengajukan syarat seperti ini dua kali (Mt 18:3 dan 19:14). Kata dosen saya, jika ada pengulangan itu bukan tanpa kesengajaan, melainkan hal penting. Maka menjadi seperti anak kecil itu salah satu syarat penting untuk bisa masuk dalam Kerajaan Surga.
Mengapa harus menjadi seperti anak kecil? Apa keistimewaan anak kecil, sehingga menjadi syarat? Yesus bukan orang yang asal ngomong. Dia juga Guru yang baik, sehingga mampu memberi contoh pada para murid dengan hal-hal yang sangat mudah dipahami dan diambil dari lingkungan mereka, misalnya soal benih, menjala ikan, domba, kehidupan gembala dll. Lalu mengapa Dia memberi contoh anak kecil? Ternyata ada beberapa keunggulan sifat anak kecil dibandingkan orang dewasa.
Anak kecil itu pengampun. Dua anak kecil, Andi dan Tono, main bersama. Karena berebut mainan, mereka bertengkar, sehingga Andi menangis. Ibu Andi tidak rela melihat anaknya menangis, maka dia marah pada Tono. Tapi ibu Tono juga tidak rela anaknya dimarahi, maka dia marah pada ibu Andi, sehingga mereka bertengkar. Sejam kemudian Andi dan Tono sudah bermain bersama kembali, tapi ibu mereka sehari, seminggu, sebulan kemudian masih belum saling bertegur sapa.
Anak kecil melihat hal positif dalam lingkup negatif. Ketika banjir melanda Surabaya, banyak orang mengeluh sebab macet, rumah kotor, dll. Tapi anak-anak gembira, sebab bisa main air sepuasnya.
Anak kecil jujur dan polos. Ketika ada tamu yang tidak berkenan, Pak Amir menyuruh Andi, anaknya yang masih kecil untuk mengatakan bahwa dia tidak ada. Andi pun taat. Dia menemui tamu ayahnya dan mengatakan "Maaf pak, kata bapak, bapak sedang pergi."
Anak kecil solider. Andi membawa kue dari rumahnya. Ketika sedang makan kue itu, tiba-tiba datang teman-temannya. Melihat Andi membawa kue, teman-temannya meminta sedikit. Dengan senang Andi membagikan kue-kue itu. Tapi ibu Andi datang dan marah, sebab kue itu dibelinya dengan harga yang cukup mahal.
Anak kecil menerima sesamanya apa adanya. Saya membawa keponakan yang baru datang dari Bandung ke rumah nenek. Dia baru berumur 3,5 th dan hanya bisa berbahasa Indonesia dan sedikit Sunda. Melihat ada anak baru yang membawa mainan, beberapa anak tetangga nenek datang. Lalu mereka main bersama. Mereka asyik sekali main sampai berjam-jam. Padahal anak-anak tetangga nenek hanya bisa berbahasa Jawa.
Anak kecil percaya dan pasrah. Andi meminta pada ibunya dibelikan mainan. Tapi ibunya belum punya uang. Ketika Andi melihat ibunya datang dari pasar, dia berharap bahwa ibunya telah membelikan dia mainan yang dipesannya. "Bu, mana mainan saya?" tanyanya penuh harap. Ibunya menjawab, "Waduh An, lain kali saja ya ibu belikan. Soalnya tadi toko mainannya tutup." Andi pun percaya dan pergi sambil tetap berharap bahwa besok toko itu akan buka.
Anak kecil tidak memakai topeng. Menerima apa yang buruk dalam dirinya dan mau mengakui keburukannya. "Andi, kamu tadi sarapan dengan lauk apa?" tanya ibu Tono iseng. "Hanya dengan kecap dan kerupuk, Tante." jawab Andi polos. Padahal ibu Andi baru saja mengatakan bahwa hari ini dia masak soto kesukaan Andi.
Anak kecil menerima dirinya apa adanya. Di pelipis Andi ada tompel yang cukup besar. Tapi dia tidak peduli dan tidak malu. Dia masih bisa bergaul dengan teman-temannya tanpa rasa minder. Tapi Shinta kakaknya yang sudah dewasa berusaha mati-matian untuk menutup bekas jerawat dengan memberinya make up yang cukup tebal.
Kegembiraan yang paling tinggi ialah kalau menjadi anak kecil. Sekelompok bapak-bapak tertawa ngakak, lepas, ketika mereka saling mencipratkan air di sebuah telaga. Sedang para istri mereka duduk dikejauhan dengan geleng-geleng kepala melihat tingkah suami mereka yang seperti anak kecil.
Masih banyak sifat anak kecil lain. Sifat mereka menjadi rusak ketika pribadi yang disebut dewasa mulai mempengaruhi mereka. Menjejali mereka dengan segala kepalsuan, ketidakjujuran, topeng-topeng, rasa dendam, dll. Semua bayi di seluruh dunia, jika senang mereka akan tertawa dan jika sedih atau marah mereka akan menangis. Tidak ada tawa atau tangis Inggris, Belanda, Jawa, Sunda dan lain-lain. Semua bayi punya bahasa universal. Hanya karena kesombongan kaum dewasalah, maka ada berbagai macam bahasa dan semuanya mengklaim bahwa bahasa merekalah yang paling unggul.
Persahabat paling tulus adalah persahabat anak-anak. Saya yakin anak kaum proin dan prokem di TimTim saat ini masih bisa bermain bersama, meski orang tua mereka saling membunuh. Demikian pula anak seorang Kristen dan Muslim di Ambon. Seorang teman Cina mengeluh bahwa dulu ketika dia kecil, dia bisa bermain dengan semua anak kampungnya, tapi setelah besar dia mulai dijauhi sebab dia pemuda Cina.
Anak-anak masih bersih, bening sebening bola matanya. Gara-gara kita yang disebut dewasa dan punya banyak pengetahuan, kebijaksanaan, pandangan yang jauh kedepan dan hal-hal hebat lainnya, membuat bola mata anak-anak tidak lagi bening.
Maka Yesus sangat benar jika mengatakan bahwa salah satu syarat masuk Kerajaan Surga adalah menjadi seperti anak-anak. Sayang banyak anak telah kehilangan dunianya. Mereka dieksploitasi oleh orang yang disebut dewasa. Misalnya penyanyi anak-anak. Saya sering ngeri melihat gaya dan penampilan mereka. Inikah anak-anak yang menjadi contoh syarat masuk Kerajaan Surga? Ah, entahlah, mungkin Yesus harus merivisi perumpamaannya di jaman milenium ketiga ini.
sumber:
http://www.pondokrenungan.com/isi.php?table=isi&id=459
Tidak ada komentar:
Posting Komentar